Posisi Inzaghi sebagai striker memang jauh dari kriteria ideal seorang pemain depan. Bagi sepakbola klasik ala Amerika Latin, seorang penyerang adalah mereka yang mempunyai skill dan teknik terbaik. Muncullah nama-nama Leonidas, Alfredo Di Stefano, Pele sampai era Ronaldo atau Lionel Messi saat ini. Sebaliknya, bagi kamus sepakbola ortodoks di Inggris dan Jerman, seorang penyerang adalah tipikal bomber seperti Gerd Muller, sang asal muasal nama "bomber", atau bahkan Duncan Ferguson. Tinggi, kuat, sadis dan oportunis di kotak pinalti lawan. Inzaghi bukan keduanya. Bomber kelahiran Piacenza, 9 Agustus 1973 tersebut "hanya" mempunyai tinggi badan 181 cm ditunjang postur kerempeng. Lari sprint-nya juga tidak cepat, dan bukan rahasia umum bila kondisi fisik Super Pippo - julukannya - tidak mampu bertahan dengan stabil selama 90 menit. Pendek kata, Pippo jauh dari kriteria ideal bagi seorang striker skillful atau model bomber.
Seorang juara adalah mereka yang mengubah kekurangan menjadi keberuntungan. Tanpa bakat dan fisik yang mendukung - bekal utama pemain sepakbola - Pippo mengembangkan sendiri sepakbolanya, yaitu sepakbola psikologis. Kakak pesepkabola Simone Inzaghi terebut akan mengembangkan perlawanan terhadap lawannya secara psikologis. Ketika berebut bola udara, misalnya, alih-alih beradu lompatan, Pippo akan mencoba memanfaatkan celah jika si pemain lawan salah dalam mengantisipasi. Hal itu akan memberikan tekanan bagi pemain lawan untuk selalu sempurna dan tidak mengijinkan adanya kesalahan sekecil mungkin, ketika Inzaghi di sekitarnya. Atau trademark Pippo yang selalu bermain-main dengan posisi offside, tentu akan membuat lawan dan penjaga garis mati-matian fokus untuk memperhatikan dirinya. Hal itu kadang menimbulkan kelelahan psikis bagi lawan (dan juga penjaga garis), ketika menit demi menit beradu. Akibatnya, entah itu lawan akan membuka ruang bagi rekan setim Inzaghi atau malah kecolongan oleh Pippo sendiri. Dan hal itu akan fatal. Gol kedua di final Liga Champions lalu membuktikan. Jamie Carragher, bek Liverpool yang dihadapi Inzaghi di final lalu berujar bahwa dirinya lelah karena harus mengamati pergerakan Inzaghi, hingga pada akhirnya tidak sempurna memasang jebakan offside yang berujung ke gol kedua.
Gaya Pippo tersebut melahirkan sejumlah "kecaman" dari pesepakbola lawan. Rata-rata "musuh" Pippo berposisi sebagai bek. Jaap Stam, yang notabene mantan rekan Inzaghi juga mengaku sebal terhadap gaya Pippo ketika pertandingan Manchester United (eks klub Stam) melawan Juventus beberapa tahun lalu. Stam terprovokasi secara psikologis untuk sangat berhati-hati dengan Pippo di seputar kotak penalti sehingga sulit baginya menyatu dengan permainan. "Musuh" lain dari Inzaghi adalah hakim garis dan wasit. Biasanya seorang hakim garis akan lebih waspada ketika permainan melibatkan Pippo. Tetapi Inzaghi juga pantang menyerah. Mungkin Pippo tidak akan ragu untuk menempuh 30 kali percobaan offside, demi lolos sekali yang sudah cukup untuknya mencetak gol
maaf kalo repost,,
Seorang juara adalah mereka yang mengubah kekurangan menjadi keberuntungan. Tanpa bakat dan fisik yang mendukung - bekal utama pemain sepakbola - Pippo mengembangkan sendiri sepakbolanya, yaitu sepakbola psikologis. Kakak pesepkabola Simone Inzaghi terebut akan mengembangkan perlawanan terhadap lawannya secara psikologis. Ketika berebut bola udara, misalnya, alih-alih beradu lompatan, Pippo akan mencoba memanfaatkan celah jika si pemain lawan salah dalam mengantisipasi. Hal itu akan memberikan tekanan bagi pemain lawan untuk selalu sempurna dan tidak mengijinkan adanya kesalahan sekecil mungkin, ketika Inzaghi di sekitarnya. Atau trademark Pippo yang selalu bermain-main dengan posisi offside, tentu akan membuat lawan dan penjaga garis mati-matian fokus untuk memperhatikan dirinya. Hal itu kadang menimbulkan kelelahan psikis bagi lawan (dan juga penjaga garis), ketika menit demi menit beradu. Akibatnya, entah itu lawan akan membuka ruang bagi rekan setim Inzaghi atau malah kecolongan oleh Pippo sendiri. Dan hal itu akan fatal. Gol kedua di final Liga Champions lalu membuktikan. Jamie Carragher, bek Liverpool yang dihadapi Inzaghi di final lalu berujar bahwa dirinya lelah karena harus mengamati pergerakan Inzaghi, hingga pada akhirnya tidak sempurna memasang jebakan offside yang berujung ke gol kedua.
Gaya Pippo tersebut melahirkan sejumlah "kecaman" dari pesepakbola lawan. Rata-rata "musuh" Pippo berposisi sebagai bek. Jaap Stam, yang notabene mantan rekan Inzaghi juga mengaku sebal terhadap gaya Pippo ketika pertandingan Manchester United (eks klub Stam) melawan Juventus beberapa tahun lalu. Stam terprovokasi secara psikologis untuk sangat berhati-hati dengan Pippo di seputar kotak penalti sehingga sulit baginya menyatu dengan permainan. "Musuh" lain dari Inzaghi adalah hakim garis dan wasit. Biasanya seorang hakim garis akan lebih waspada ketika permainan melibatkan Pippo. Tetapi Inzaghi juga pantang menyerah. Mungkin Pippo tidak akan ragu untuk menempuh 30 kali percobaan offside, demi lolos sekali yang sudah cukup untuknya mencetak gol
maaf kalo repost,,
One response to “Inzaghi: Selicik Kancil, Segarang Singa”
ok ris. KDRT ( kekerasan dalam .........................)
Leave a Reply